Om svastiastu,
Om awighnam astu namo sidham, Om anubadrah kreta wiyantu
wiswatrah, Semoga fikiran baik datang dari segala arah.
Kepada Bapak Wasi
yang saya sucikan, kepada bapak ibu yang saya hormati. Atas Asungkerta warenugrane ida Sang Hyang Widi
Wada, kita dapat berkumpul bersama-sama dalam keadaan sehat, dalam kesempatan
baik ini saya akan ber darmawacana degan tema Nunas Tirta dan Bija.
Setelah melaksanakan
persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh Ida Bhatara. Tirta ini
dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali mencuci muka
(meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi bersih dan
suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan
kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang
merupakan rangkaian terakhir dari suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija
adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala
juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka
disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras
yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau
wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih
ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna
menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa
tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija
dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat
keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan
benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar
dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan
lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih
ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang
terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri,
masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan
menelannya. Namun dalam kitab Weda Parikrama yang menyebutkan bahwa peletakan
bija yang benear adalah :
Ubun-ubun: Om Ing Isana ya namah
Sela-sela alis: Om Tang Tat Purusha ya namah
Pangkal tenggorokan: Om Ang Agora ya namah
Bahu kanan: Om Bang Bamadewa ya namah
Bahu kiri: Om Sang Sadiyojata ya namah
Belakang leher (tengkuk): Om Hang Hrdaya ya namah
Belakang telinga kanan: Om Hring Kaya Sirase ya namah
Belakang telinga kiri: Om Rah Phat Astra ya namah
Dan pada waktu Memegang bunga atau kwangen tidak selalu
di ujung jari tengah kanan dan kiri, tetapi juga di jari yang lain, misalnya
kalau memakai kwangen, tentu tidak kuat kalau hanya dipegang di kedua ujung
jari itu. Yang penting:
Usahakan agar ujung bunga/ kwangen tidak melewati ubun-ubun (Siva
dvar = Siwadware)._Kedua
telapak tangan menyatu (mencakup) sebagai simbol penyatuan ‘shakti’ dan
‘dharma’._Patut
pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana
persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija
tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu
pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari
serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan
menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah
bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata
"bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa
Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa
Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang
masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang
berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka
dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa.
Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa
(Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
Sekian pesan dharma yang dapat saya
sampaikan semoga bermanfaat untuk kita semua dan semoga kita selalu berbuat
dalam kebaikan.
Saya tutup dengan paramasanti
Om, Santi Santi Santi Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar