Om svastiastu,
Om awighnam astu namo sidham, Om anubadrah kreta wiyantu
wiswatrah, Semoga fikiran baik datang dari segala arah.
Kepada Bapak Wasi
yang saya sucikan, kepada bapak ibu yang saya hormati. Atas Asungkerta warenugrane ida Sang Hyang Widi
Wada, kita dapat berkumpul bersama-sama dalam keadaan sehat, dalam kesempatan
baik ini saya akan ber darmawacana degan tema Desa Kala Patra.
Dalam kehidupan masyarakat Hindu di segala sesuatu yang
dilakasanakan hendaknya disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Desa Kala Patra
adalah kelenturan interpretasi masyarakat pada suatu wilayah dalam kurun waktu
tertentu yang disesuaikan dengan situasi/keadaan tertentu. sebaagai contoh yang
saya kutip di website Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) adalah Orang yang
tepat diberikan dana punia disebut Patra. Dalam Sarasamuscaya 271 dinyatakan
“Paatra ngarania sang yogia wehana daana” yang artinya Paatra namanya orang
yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka 181 juga sudah
dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang baik dan
seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak
artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan
Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan
daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama atau dharma sudah
sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Ada lima dasar
pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka Manawa
Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma
atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut
yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat,
Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala
artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa itulah
diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih tepat
dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini menyebabkan
bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan
daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat disesuikan
dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring,
pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu
nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India,
tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang penting isi
Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya
sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri dalam multi kultur
itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya. Tattwa itu adalah sumber jati diri.
Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu dijadikan dasar
melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita terombang-ambing
terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah. Idealnya
kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa) tetap
berlanjut sepanjang zaman. Dalam mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah
yang disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran
yang paling hakiki yang harus tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman
dan dimana pun. Seperti makanan unsur intinya harus tetap ada seperti
karbohidrat, lemak, vitamin, protein, asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya
boleh berubah-ubah, tetapi substansi makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak
boleh merubah fungsi. Seperti zat pewarna dalam makanan, jangan mengubah
makanan itu menjadi racun. Manusia dari suku dan bangsa mana pun dia
membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat, protein, vitamin, asam amino.
Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan menggunakan dasar Desa Kala
Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai dasar membangun adaptasi
diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada pengertian yang benar menurut
ketentuan kitab suci.
Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu
Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur itu kita dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu
sekian dan terima kasih, kiat sebagai umat hindu semoga dapat
merealisakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya tutup dengan paramasanti
Om, Santi Santi Santi Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar