Om svastiastu,
Om awighnam astu namo sidham, Om anubadrah kreta wiyantu
wiswatrah, Semoga fikiran baik datang dari segala arah.
Kepada Bapak Wasi
yang saya sucikan, kepada bapak ibu yang saya hormati. Atas Asungkerta warenugrane ida Sang Hyang Widi
Wada, kita dapat berkumpul bersama-sama dalam keadaan sehat, dalam kesempatan
baik ini saya akan ber darmawacana degan tema Hari Raya Galungan.
Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya
“menang” atau “bertarung”. Galungan
juga sama artinya dengan Dungulan yang juga berarti “menang”. Karena itu di
Jawa wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang
kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja.
Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi, sementara di
Bali disebut Umanis, yang artinya sama yaitu manis.
Galungan telah sejak ratusan tahun lamanya dirayakan di
Pulau Bali. Ini bisa diketahui dari lontar berbahasa Jawa Kuno yang bernama
Kidung Panji Amalat Rasmi dan Purana Bali Dwipa. Galungan pertama kali
dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau
tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan : “Punang aci Galungan ika
ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria
Buwana ikang Bali rajya”. Artinya : Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu
pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, Dungulan sasih kapat tanggal 15,
tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Perayaan hari raya Galungan, ada kemungkinannya mendapat inspirasi
atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa
dilihat dari kata Wijaya yang bersinonim dengan kata Galungan dalam Jawa Kuna.
Kedua kata itu artinya menang. Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula
Hari Raya Dasara. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari sama
seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam
umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri [sembilan malam].
Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang
sangat khusuk di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankan nilai-nilai spiritual
sebagai dasar perjuangan, mengeliminasi adharma di dalam diri. Pada hari
kesepuluh barulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih
menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan, dan kesemarakan untuk masyarakat
luas. Perayaan Wijaya Dasami dilaksanakan dua kali setahun dengan perhitungan
tahun surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika [Oktober] dan bulan Waisaka
[April]. Perayaan Dasara pada bulan waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa
Ratri. Nah jadi Galungan itu tidak
hanya di Indonesia tapi di India juga ada hanya dengan nama yang berbeda.
Walaupun berbeda nama tapi maknkanya tetap sama yaitu merayakan hari
kemenangan.
MAKNA GALUNGAN
Menurut sumber beberapa lontar, makna Galungan adalah hari suci yang
memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang
berasal dari adharma dan mana yang dari budhi atma yaitu berupa dharma dalam
diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan
kecendrungan keraksasaan [ashura sampad] dan kecendrungan kedewaan [dewa
sampad] dalam bathin kita sendiri. Hal ini bisa direalisasi dengan memotong
seluruh sad ripu [enam kekotoran bathin] di hari Penampahan Galungan.
Hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki
kemampuan untuk mereduksi kecendrungan keraksasaan. Hidup yang berbahagia bisa
direalisasi dengan memotong seluruh sad ripu [enam kekotoran bathin].
Dalam lontar Sundarigama, makna Galungan dijelaskan sebagai berikut
: “Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang
apadang maryakena sarwa byapaning idep”. Artinya : Rabu Kliwon Dungulan namanya
Galungan, bersatunya bathin [samadhi] yang mendapatkan pandangan yang terang
[galang apadang], sehingga melenyapkan segala kegelapan pikiran [byaparaning
idep].
Seringkali seseorang tahu marah-marah itu tidak baik, tapi dia tetap
melakukannya. Seseorang tahu selingkuh itu tidak baik, tapi dia tetap
melakukannya. Seseorang tahu korupsi itu tidak baik, tapi dia tetap
melakukannya. APA SEBABNYA ? Karena dia tidak bisa menguasasi dirinya sendiri.
Jadi, inti Galungan adalah mendapatkan pikiran dan perilaku yang
terang. Pikiran dan perilaku yang terang inilah wujud dharma dalam diri.
Sedangkan segala kekacauan pikiran itu [byaparaning idep] adalah wujud adharma.
Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat
Galungan adalah menangnya dharma dalam melawan adharma dalam diri. Yaitu :
ketika kita bisa menguasai diri kita sendiri.
Sekian pesan dharma yang dapat saya
sampaikan semoga bermanfaat untuk kita semua dan semoga kita selalu berbuat
dalam kebaikan.
Saya tutup dengan paramasanti
Om, Santi Santi Santi Om
Dalam fersi balinya
BalasHapus